KORPORAT YANG KEPARAT?

MUKADIMAH

Di kala dunia ini sedang kecamuk dengan bicara ekonominya, hati ini sedikit terhibur bila membaca pengkaryaan EMHA yang sarat dengan nuansa sufi tetapi dikemas dengan bahasa sederhana sehingga mudah untuk "dikunyah" oleh sesiapa sahaja.

Salah satu kalimatnya yang membuat saya sedikit merenung adalah "Muhammad SAW memilih kemiskinan tetapi menolak kefakiran". 

Secara bahasa kalimat itu seolah-olah kontradiktif, tetapi menjadi menarik untuk dikaji, apalagi menggunakan perspektif ekonomi Islam.

Apa beza kemiskinan dan kefakiran?

Definisi miskin bermakna orang yang berada dalam kondisi kekurangan meskipun mereka memiliki nafkah. Sementara fakir bererti orang yang tidak mampu kerana memang sama sekali tidak memiliki nafkah.

Ingatan ini menerawang pada perilaku hidup manusia-manusia mulia pada masa lalu, para sahabat Rasulullah, yang tak terkira kemuliaan kisah-kisahnya.

Kebanyakan sahabat-sahabat Rasulullah digambarkan sebagai ‘korporat’ ulung yang sekaligus membayangkan kemampuan harta mereka. Tetapi, mengapa kisah mereka diakhiri dengan kisah kesederhanaan atau bahkan kisah kepapaan mereka?

Mereka banyak harta tetapi gaya hidup mereka langsung tak menunjukkan kemewahan, jauh bezanya dengan perihal ‘korporat’ kita sekarang.

Apakah ada yang salah?

Tidak! sama sekali tidak ada yang salah! Mereka tidak mungkin mengingkari peringatan Nabi SAW;

"Sesungguhnya kefakiran itu mendekatkan diri pada kekufuran". Mereka sungguh-sungguh memahami peringatan itu bahkan semakin lengkap dengan peringatan Nabi yang lain; "harta yang baik adalah harta yang berada di tangan orang yang soleh" dan "manusia terbaik di antara kamu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lain".

Akhirnya muncul kesimpulan dalam hati dan jiwa mereka tentang hidup dan harta, bahawa harta akan bernilai bagi mereka ketika harta mereka memberikan kemanfaatan, menebalkan iman, meningkatkan ketaqwaan.

Sehingga mereka tidak begitu berkehendak pada harta yang melimpah. Mereka memilih cara untuk memaksimakan kemanfaatan harta mereka, sehingga harta yang tinggal bagi mereka hanyalah apa yang mereka ‘perlukan’ untuk hidup saja, bukan untuk melayani ‘keinginan’ yang tak terhingga batasnya.

Bahkan dalam keadaan seperti itu, mereka terus menekan godaan nafsu mereka dengan berpuasa.

Apa yang membuat mereka dapat menjelma menjadi manusia seperti itu?

Tak lain dan tak bukan adalah kefahaman terhadap akidah, akhlak dan syariat Islam. Kefahaman, sekali lagi kefahaman pada Islam itu yang membuka tabir dan merubah jiwa manusia.

Akhirnya Islamlah yang membuat manusia menjadi berbeza, pada hatinya, akalnya dan jasadnya.

Share on Google Plus

About Orang Melaka

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.